Senin, 27 Desember 2010

Penetapan atau Pemilihan, Sultan Pilih Mana?

Pada 2007, Sultan menolak melanjutkan jabatan gubernur, bahkan meminta pemilihan segera.
Senin, 13 Desember 2010, ribuan orang di Yogyakarta menyemuti pelataran Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Siang itu, anggota Dewan setempat membahas keistimewaan Yogyakarta. Mayoritas fraksi, kecuali Demokrat, menyatakan sikap: mendukung penetapan otomatis Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai gubernur DIY.

Namun sebuah pertanyaan masih menggantung. Raja Yogyakarta sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mendukung opsi yang mana? Pertanyaan itu pula yang dilontarkan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Sabtu kemarin di Yogyakarta.
Tiga tahun lampau, Sultan pernah lantang menyatakan memilih jalan demokrasi. Dia secara terbuka mengutarakan mendukung diadakannya pemilihan gubernur di DIY. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingat dengan baik pernyataan-pernyataan Sultan Hamengkubuwono X tiga tahun silam itu. Saat itu, kata SBY, dalam dua kali kesempatan berbeda Sultan secara eksplisit menyatakan ketidaksediaannya menjadi gubernur untuk periode ketiga.

Menjelang berakhirnya masa jabatan Sultan sebagai Gubernur DIY periode 2003-2008, masih kata SBY, terjadi dinamika politik. Di tahun 2007 muncul perdebatan, bagaimana kelanjutan DIY setelah habis masa jabatan kedua Sultan sebagai gubernur. "Ada yang bilang lanjut dan ada yang bilang harus ada aturan baru," kata SBY dalam siaran pers yang berlangsung di Kantor Presiden, 2 Desember 2010 lalu.

Tahun itu, saat Sultan berulang tahun ke-61 pada 7 April 2007, dalam orasi budaya di depan publik, SBY mengisahkan, Sultan menyatakan tak bersedia lagi menjadi gubernur setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. "Beberapa saat kemudian, 18 April 2007, Sultan kembali menjelaskan tidak ingin menjadi gubernur lagi. Ini saya ikuti dengan seksama," kata SBY.

Bukan hanya tak menginginkan posisi gubernur lagi, Sultan juga mendesak agar pemilihan Gubernur DIY 2008-2013 dilakukan segera. "Tidak perlu ada penundaan, sesuaikan saja dengan berakhirnya masa jabatan gubernur pada Oktober 2008," kata Sultan di Kepatihan Yogyakarta, 8 Agustus 2007, seperti dilansir Kantor Berita Antara.

Bahkan, Sultan HB X ketika itu menyatakan jika memang pemilihan gubernur dianggap mendesak, maka pelaksanaannya bisa ditetapkan melalui Keputusan Presiden, tidak perlu menunggu Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY disahkan. "Kalau menunggu RUUK, belum jelas kapan akan disahkan, karena itu KPUD DIY hendaknya mulai melakukan persiapan untuk melaksanakan pemilihan gubernur," katanya saat itu.

Meski keinginan itu disampaikan secara eksplisit dan disampaikan di depan publik, Presiden Yudhoyono--yang mempertimbangkan situasi politik ketika itu--mengambil inisiatif memperpanjang masa jabatan Sultan sebagai gubernur pada 2008-2011. SBY tak menuruti keinginan Sultan saat itu agar segera digelar pemilihan kepala daerah.

"Alhamdullilah, Beliau bersedia diperpanjang selama tiga tahun. Dalam masa perpanjangan tiga tahun inilah kita ingin dengan jernih memikirkan dan merumuskan UU yang tengah kita godok bersama, yang tepat dan bisa menjawab semuanya," kata SBY.

Tentang keputusan perpanjangan masa jabatannya itu, usai bertemu Presiden di Kantor Kepresidenan pada 7 Oktober 2008, Sultan menyatakan, "Saya tidak keberatan atau mempersoalkan keputusan Presiden, baik melalui Keppres atau Perppu, asal tidak untuk lima tahun karena saya juga punya tanggung jawab lain."

Namun, belakangan, Sultan menjelaskan bahwa pernyataan dia pada 7 April 2007 itu semata merupakan manuver terhadap Pemerintah Pusat. Pada 3 Maret 2008, Sultan menjelaskan bahwa pernyataannya tak bersedia lagi menjadi gubernur itu dikarenakan undang-undang mengatur seseorang hanya boleh menjadi kepala daerah selama dua periode saja. Selain itu, tidak ada aturan hukum yang menyatakan secara eksplisit bahwa Gubernur DIY adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X.

"Bunyi Undang-undang 22/1999 maupun Undang-undang 32/2004 adalah keluarga Keraton Yogyakarta dan keluarga Pakualaman. Tidak ada yang menyebut Sultan Yogyakarta sebagai Gubernur DIY," kata Sultan yang diangkat menjadi Gubernur sejak 1998 melalui Keputusan Presiden itu.

Supaya tidak melanggar konstitusi, kata Sultan, dia lebih baik menyatakan tidak bersedia. "Karena undang-undangnya tidak ada. Mana undang-undang yang menjamin saya bisa menjabat ketiga atau keempat kali?" kata dia seperti dilansir harian Kedaulatan Rakyat.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, AAGN Ari Dwipayana, menyatakan, Sultan sebenarnya mendukung sistem di mana gubernur DIY ditentukan melalui penetapan--meski beberapa kali mengungkapkan perlu ada pemilihan. Pernyataan 2007 itu, kata Ari, harus dibedakan dengan pernyataan tahun 2008.

Di tahun 2007, terjadi kebuntuan karena belum ada kejelasan penyelesaian UU Keistimewaan Yogyakarta. Sultan lalu menyatakan tak ingin melanjutkan jabatan gubernur. "Padahal, aspirasi publik sebenarnya menginginkan penetapan," kata Ari.

Pada tahun 2008, Sultan lalu menyatakan pernyataan April 2007 itu sebagai manuver. Di mata Ari, ini membuktikan bahwa Sultan sebenarnya cenderung ingin agar Gubernur DIY ditetapkan. "Secara normatif terkesan berubah-ubah, namun secara ilmu politik, itu manuver," kata Ari saat diwawancara VIVAnews.com.

Saat UGM mengajukan naskah akademik yang menempatkan Sultan sebagai Parardhya (semacam kepala negara, bukan kepala pemerintahan), Sultan juga tidak pernah memberikan pernyataan tegas setuju atau tidak. Saat ditanyakan, apakah mendukung penetapan atau pemilihan, Sultan selalu memulangkan pertanyaan itu. "Tanyakan saja pada rakyat," kata Ari menirukan. (kd)

Sumber: VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar